3 Okt 2012

ketika aku bersimpuh di kakimu

Akan kutuliskan kepadamu perjalanan seseorang, yang tak pernah lelah menungguku pulang setiap senja bahkan hingga malam permisi datang - tetapi seringkali ku abaikan.


Aku sudah jauh melangkah meninggalkan pelukanmu, Bu. entah telah dimana aku meninggalkan kata-kata manis dan pujian yang kau lantunkan padaku atas nyanyianku di teras rumah sederhana kita, belasan tahun lalu. entah apa yang ku perbuat hingga peduli dan perhatianmu yang kau jelma dalam pelukanmu padaku di sela tangisanku, seakan memudar, seakan semua yang kau lakukan adalah dongeng masalalu yang perlahan akan terlupa dan termakan waktu.

Bu, perjalanan yang melemahkan ini mulai menimbulkan decit decit di engsel kakiku. maaf atas segala keluhan yang kau dengar, disela-sela waktu istirahatmu yang sebenarnya sudah sangat lelah setelah menungguiku pulang. tidak seharusnya aku marah pada takdir, kan Bu? tapi Bu, suaramu yang mengendap-endap bangun dan membuka lemari tua kita, setelah aku selesai melipat sajadahku diam-diam, serta doa dan airmatamu itu, selalu menggigiti bahuku yang ku tegar-tegarkan di hadapanmu.


Bu, kesepian ini mulai menumbuhkan fatamorgana yang menenggelamkan. maaf karena aku sering melupakan kasihmu, malah dengan mudahnya menangis atau galau karena bayang bayang samar orang lain yang bahkan belum tentu sungguh menyukaiku atau tidak. tidak seharusnya aku sedih, padahal aku memiliki samudera yang siap menerimaku bermuara saat mengalir atau menangkapku ketika aku terjatuh sebagai bulir.








Ibu, janjiku padamu belum ada yang terwujud. sabar ya,
semoga Allah bentangkan usiamu, dan usia Ayah
hingga kelak kau saksikan aku
di depanmu, bersujud dalam haru

ketahuilah bukan aku darah dagingmu,
kau, Bu, darahku dan dagingku.