21 Feb 2013

jawaban


*sigh*
Aku kembali menjadi gadis bergolongan darah O yang selalu mengkhawatirkan banyak hal. Belakangan aku merasa dadaku kembali menjadi tempat singgah bagi cita-cita yang terlanjur tertulis di dalam buku bersampul kelinci hijau muda itu. Apa mungkin buku itu sudah lelah menampung cita-cita yang baru terwujud dua dari semuanya, sehingga beberapa dari sana berlompatan kembali ke kepalaku?

Dalam pikiranku sebagai manusia, tugasku dalam perjalanan ini hanyalah berdoa. Bahkan dalam segala jalan yang kupilih, dan kutapaki setiap rasanya satu persatu, tugasku tetap hanya berdoa. Berdoa agar jalan yang kupilih adalah tepat. Berdoa agar diberi kekuatan untuk terus berjalan dalam pilihan, terus, hingga bertemu garis finish-nya. Berdoa agar hasilnya sesuai keinginan, atau minimal berdoa agar aku tetap selalu ridha dengan apapun hasilnya kelak. Sekali lagi, tugasku tidak lebih dari berdoa.

Sering Tuhanmu memberi jawaban, namun sering engkau abaikan; Kau anggap Tuhan tak menghiraukan, kau pikir jawaban harus sesuai keinginan. Tiba-tiba sebuah tweet Ust. Felix Siauw menyerang kepalaku dengan ribuan tanda tanya. Aku yang memang merasa bertugas untuk berdoa, tentu saja menanti jawaban. Tapi, kali ini aku merasa bingung mengapa Tuhan memberi jawaban secara abu-abu, sehingga bisa-bisanya aku abaikan? Atau aku membalik pertanyaannya menjadi lebih membingungkan, yaitu mengapa aku bisa-bisanya mengabaikan jawaban Tuhan yang jelas-jelas pasti memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya yang beriman?

Aku, gadis bergolongan darah O kembali resah dalam tanda tanya. Aku memang cenderung untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam hati untuk menciptakan sedikit rongga untuk bernafas. Sehingga kembali lagi aku menceritakan segalanya dalam doa, dan merasa sangat lega setelahnya. Keyakinanku, bahwa Allah tidak mungkin mengkhianati imanku yang sangat meyakini bahwa bahkan tidak sebuah daunpun gugur tanpa izinnya. Termasuk tidak ada jawaban yang akan dapat aku abaikan sepenuhnya, jika jawaban itu memang yang terbaik untukku.

Jadi, apa yang bisa kulakukan lagi, ketika kapasitasku sebagai manusia baru sampai mempertimbangkan setiap jawaban yang tersirat, lalu menyerahkan kembali keputusanku pada Allah?


Entahlah

Semoga kelak Allah, Tuhanku yang kuyakini kemahaannya, akan mengantarku pada ranting jawaban yang seharusnya. Dan saat aku tiba disana, semoga Allah akan membuatku ikhlas menjatuhkan diriku. Bagai tetes embun yang diam-diam ragu, tetapi tetap berserah..