waktuku kecil, aku memimpikan seorang ayah
yang akan menungguku sarapan pagi saat hari pertama sekolah
yang akan menyimpan sepatunya disisi sepatuku agar berlomba mengikat talinya
yang akan mengantarku sampai pagar sekolah dan mengelus lembut kepalaku
yang akan menatapku dengan yakin seakan putrinya akan hebat suatu saat
waktuku kecil, aku memimpikan seorang ayah
yang akan mengritik dengan manis ketika jilbabku terlihat terlalu tipis
yang akan memujiku cantik ketika aku merasa pakaianku kurang pas
yang akan tetap menggandengku meski wajahku sedang banyak jerawat
yang akan tetap menjadikan aku modelnya meski badanku tidak cukup tinggi
: kini
aku menyadari bahwa ayahku, bukan ayah seperti itu.
ayahku hanya menunggu ketika memastikan aku shalat shubuh awal waktu
ayahku hanya memakai sepatunya sendiri ketika ia harus berangkat kerja lebih pagi lagi
ayahku hanya mengantar dan melihatku dari jauh ketika aku mendaftar ke sekolah pilihanku
ayahku hanya menatapku ketika meyakinkan bahwa aku tetap bisa lanjut sekolah
ayahku hanya mengritik ibu diam diam ketika aku jilbabku kurang rapi
ayahku hanya memuji Allah ketika mengetahui nilai mata kuliahku lulus
ayahku hanya menggandeng bahuku saat kami menuju masjid waktu shubuh
ayahku hanya menjadikan kaligrafi sebagai wallpaper hp-nya
ayahku, mungkin ayah satu satunya yang bersikap seperti itu
ayahku, mungkin tidak menjelma seperti ayah dalam mimpiku
ayahku, lebih dari itu. di hatiku, ayah adalah juara satu