*sigh*
Aku kembali menjadi gadis bergolongan darah O yang
selalu mengkhawatirkan banyak hal. Belakangan aku merasa dadaku kembali menjadi
tempat singgah bagi cita-cita yang terlanjur tertulis di dalam buku bersampul
kelinci hijau muda itu. Apa mungkin buku itu sudah lelah menampung cita-cita
yang baru terwujud dua dari semuanya, sehingga beberapa dari sana berlompatan kembali ke kepalaku?
Dalam pikiranku sebagai manusia, tugasku dalam perjalanan ini hanyalah
berdoa. Bahkan dalam segala jalan yang kupilih, dan kutapaki setiap rasanya
satu persatu, tugasku tetap hanya berdoa. Berdoa agar jalan yang kupilih adalah
tepat. Berdoa agar diberi kekuatan untuk terus berjalan dalam pilihan, terus,
hingga bertemu garis finish-nya. Berdoa agar hasilnya sesuai keinginan, atau
minimal berdoa agar aku tetap selalu ridha dengan apapun hasilnya kelak. Sekali
lagi, tugasku tidak lebih dari berdoa.
Sering Tuhanmu memberi jawaban, namun sering engkau abaikan;
Kau anggap Tuhan tak menghiraukan, kau pikir jawaban harus sesuai keinginan.
Tiba-tiba sebuah tweet Ust. Felix Siauw menyerang kepalaku dengan ribuan tanda
tanya. Aku yang memang merasa bertugas untuk berdoa, tentu saja menanti
jawaban. Tapi, kali ini aku merasa bingung mengapa Tuhan memberi jawaban secara
abu-abu, sehingga bisa-bisanya aku abaikan? Atau aku membalik pertanyaannya menjadi lebih membingungkan, yaitu mengapa aku bisa-bisanya mengabaikan jawaban Tuhan yang jelas-jelas pasti memberikan yang terbaik bagi hamba-Nya yang beriman?
Aku, gadis bergolongan darah O kembali resah dalam tanda tanya. Aku memang cenderung untuk
mengungkapkan apa yang ada di dalam hati untuk menciptakan sedikit rongga untuk bernafas. Sehingga kembali lagi aku menceritakan segalanya dalam doa, dan
merasa sangat lega setelahnya. Keyakinanku, bahwa Allah tidak mungkin mengkhianati
imanku yang sangat meyakini bahwa bahkan tidak sebuah daunpun gugur tanpa
izinnya. Termasuk tidak ada jawaban yang akan dapat aku abaikan sepenuhnya, jika jawaban itu memang yang terbaik untukku.
Jadi, apa yang bisa kulakukan lagi, ketika kapasitasku
sebagai manusia baru sampai mempertimbangkan setiap jawaban yang tersirat, lalu
menyerahkan kembali keputusanku pada Allah?
Entahlah
Semoga kelak Allah, Tuhanku yang kuyakini kemahaannya, akan
mengantarku pada ranting jawaban yang seharusnya. Dan saat aku tiba disana, semoga Allah akan membuatku ikhlas menjatuhkan diriku. Bagai tetes embun yang diam-diam ragu, tetapi tetap
berserah..